Film Animasi 3D Sudamala

Senin, 09 Januari 2012

Pengembangan pembangunan Wilayah System Top Down & Pengembangan pembangunan Wilayah Sistem Bottom Up

Pengembangan pembangunan Wilayah System Top Down
Sistem pengembangan wilayah di Indonesia sebelum otonomi daerah
dilaksanakan secara top down, baik kebijakan perluasan wilayah administratif
maupun pembentukan wilayah kawasan ekonomi. Hal yang sama juga dilakukan
dalam pembentukan kawasan khusus yang mengutamakan landasan kepentingan
nasional yang mencerminkan karakteristik pendekatan regionalisasi sentralistik.
Dalam hal ini aspek pengambilan keputusan dilaksanankan secara top down.
(Abdurrahman, 2005).
Rondinelli dalam Rustiadi (2006:8) mengidentifikasikan tiga konsep
pengembangan kawasan, yakni (1) konsep kutup pertumbuhan (growth pole), (2)
integrasi (keterpaduan) fungsional-spasial, dan (3) pendekatan decentralized
territorial. Di Indonesia konsep growth pole dirintis mulai tahun delapan puluhan
yaitu dengan menekankan investasi massif pada industri-industri padat modal di
pusat-pusat urban terutama di Jawa dimana banyak tenaga kerja, dengan harapan
dapat menciptakan penyebaran pertumbuhan (spread effect) atau efek tetesan ke
bawah (trickle down effect) dan berdampak luas terhadap pembangunan ekonomi
wilayah. Indikator ekonomi nasional sangat bagus hingga tahun 1997, namun
dampaknya bagi pembangunan daerah lain sangat terbatas. Kenyataannya teori ini
gagal menjadi pendorong utama (prime over) pertumbuhan ekonomi wilayah.
Sebaliknya kecenderungan yang terjadi adalah penyerapan daerah sekelilingnya
dalam hal bahan mentah, modal, tenaga kerja dan bakat-bakat enterpreneur. Hal
ini menyebabkan kesenjangan antar daerah.
Perencanaan dan aplikasi pembangunan dengan paradigma top down
(sentralistik) tidak dapat membuat perubahan sehingga mulai dievaluasi dan
secara bertahap berubaah menjadi sistem bottom up, dimulai sejak mundurnya
Presiden Suharto di tahun 1998 dan diundangkannya kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah pada tahun 1999 yang baru diaplikasikan pada tahun 2001.
Perubahan dari paradigma sentralistik pasca otonomi daerah tidak serta merta
hilang, namun secara berangsur-angsur mulai beralih pola ke arah bottom up.
Peluang pembangunan wilayah secara nonstruktural, berdasarkan inisiatif lokal
dan dikelola tanpa memiliki keterikatan struktural administratif terhadap hirarki
yang diatasnya.
Pengembangan pembangunan Wilayah Sistem Bottom Up
Pendekatan teknis kewilayahan melalui pendekatan homogenitas atau
sistem fungsional mengalami proses yang lebih kompleks karena pelaksanaannya
meliputi aspek kesepakatan atau komitmen para aktor regional dalam memadukan
kekuatan endogen (Abdurrahman, 2005:15). Kemudian Rustiadi (2006:9)
menambahkan bahwa konsep integrasi fungsional-spasial seperti yang pernah
dicetuskan oleh Rondinelli berupa pengembangan pusat-pusat pertumbuhan
dengan berbagai ukuran dan karakteristik fungsional secara terpadu perlu
dikembangkan untuk memfasilitasi dan memberi pelayanan regional secara lebih
luas.
Salah satu bentuk konsep ini adalah pewilayah agropolitan yang
dirancang pertama kali oleh Friedman, Mc Dauglas, 1978 yang merupakan
rancangan pembangunan dari bawah (development from below) sebagai reaksi dari
pembangunan top down (development from above). Agropolitan merupakan
distrik atau region selektif yang dirancang agar pembangunan digali dari jaringan
kekuatan lokal ke dalam yang kuat baru terbuka keluar (Sugiono.S, 2002:49).
Namun dimensi ruang (spatial) memiliki arti yang penting dalam
konteks pengembangan wilayah, karena ruang dapat menciptakan konflik dan
pemicu kemajuan bagi individu dan masyarakat. Secara kuantitas ruang adalah
terbatas dan secara kualitas ruang memiliki karakteristik dan potensi yang
berbeda-beda. Maka dari itu intervensi terhadap kekuatan pasar (planning) yang
berwawasan keruangan memegang peranan yang sangat penting dalam formulasi
kebijakan pengembangan wilayah. Sehingga keserasian berbagai kegiatan
pembangunan sektor dan wilayah dapat diwujudkan, dengan memanfaatan ruang
dan sumber daya yang ada didalamnya guna mendukung kegiatan kehidupan
masyarakat (Riyadi, DS, dalam Urbanus M Ambardi, 2002: 48).
Sebagai suatu sistem yang kompleks perlu intervensi isolasi dalam proses
integrasi kedalam dengan kontrol dan subsidi yang mencegah proses inviltrasi dari
luar (Sugiono.S, 2002:50). Namun karena penerapan program agropolitan yang
berjalan seiring dengan proses globalisasi maka proteksi wilayah sulit dilakukan.
Jadi ada dua sisi yang saling tarik menarik dan keduanya juga saling
bertolak belakang. Dimana satu sisi dibutuhkan kemandirian dalam
pengembangkan wilayah sementara disisi lainnya dibutuhkan proteksi atau
kekuatan central agar satu dan lain hal dapat dikondisikan untuk mencapai tujuan
yang ideal. Sementara itu hal lain yang juga berpengaruh besar adalah adanya
kekuatan globalisasi yang tidak memungkinkan bagi pemerintah untuk mengatur
segala sesatunya sesuai dengan konsep yang dicanangkan. Ada beberapa
perubahan yang terjadi sesuai dengan berjalannya proses pembangunan itu
sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar