1. Jamang
Jamang atau kadang disebut Siger adalah sejenis perhiasan kepala yang dikenakan di dahi. Cara mengenakan jamang adalah melingkari kepala menyerupai ikat kepala, biasanya menghiasi kening, puncak dahi terus hingga ke pelipis. Jamang dapat dikenakan sendiri atau dipadukan dengan sumping dan rambut yang disanggul susun tinggi dan diberi perhiasan laksana mahkota sebagai kelengkapan jatamakuta.
Jamang ditemukan dalam khazanah budaya Indonesia, khususnya budaya Jawa, Sunda, Bali, Lampung, Palembang dan Minang dikenakan sebagai atribut busana pengantin ataupun busana penari. Jamang kadang juga disebut siger atau singkar sebagai kelengkapan busana adat. Jamang pada busana adat Sunda disebut siger, namun istilah siger kini biasanya dikaitkan dengan mahkota busana adat Lampung. Dalam bahasa Banjar disebut katopong yang dikenakan pemain Wayang Gung, sedang dalam mahkota pengantin wanita Banjar disebut amar.
Bahan
Jamang gaya Palembang, Singkar sukun Pa sangko.
Aslinya jamang dibuat dari logam mulia; seperti emas atau perak yang diukir halus, kadang bertatahkan intan atau batu permata seperti batu mirah delima. Namun kini jamang biasanya terbuat dari kuningan atau kulit yang ditatah kerawangan (tembus berlubang) dan dicat emas.
Asal mula
Relief Borobudur menampilkan sosok mengenakan jamang dan jatamakuta di kepalanya.
Perhiasan jamang sebenarnya merupakan warisan kesenian Hindu-Buddha masa klasik Indonesia, terutama pada masa Kerajaan Medang. Ukiran orang yang mengenakan perhiasan lengkap termasuk jamang menandakan bahwa yang mengenakannya adalah dari kasta ksatriya, orang kaya, bangsawan, atau keluarga kerajaan. Ukiran relief dan arca di candi Borobudur dan Prambanan menampilkan bangsawan yang mengenakan jamang.
Penari Jawa mengenakan perhiasan jamang, sumping, anting-anting, kalung dan kelat bahu.
2. Sumping
Sumping adalah sejenis perhiasan yang dikenakan pada telinga. Sumping biasanya berupa ukiran yang ditatah dengan bentuk menyerupai sayap burung atau sulur helai daun. Cara mengenakan sumping adalah menyelipkan daun telinga pada lubang melengkung yang terdapat pada sumping. Sumping ditemukan dalam khazanah Indonesia, khususnya budaya Jawa dan juga pada busana tradisional Thailand, dikenakan sebagai atribut busana penari. Sumping merupakan salah satu atribut kelengkapan busana tarian Jawa seperti tari serimpi dan wayang orang.
Bahan
Aslinya sumping dibuat dari logam mulia; emas atau perak yang diukir halus, kadang bertatahkan batu permata seperti intan atau batu mirah. Namun kini sumping biasanya terbuat dari kuningan atau bahkan hanya lembaran kulit (sama dengan bahan wayang kulit) yang ditatah
kerawangan (tembus berlubang) dan dicat emas.
Torso atau batang tubuh arca dari Jawa abad ke-9, kemungkinan arca Awalokiteswara, menampilkan ukiran upawita melintang di tubuhnya.
3. Upawita
Upawita atau kadang disebut Talikasta adalah sejenis perhiasan berupa jalinan rantai melingkar yang dikenakan melintang pada batang tubuh. Cara mengenakan upawita adalah melingkari bahu kiri, melintang di depan dada hingga ke pinggang dan punggung. Kini upawita masih dikenakan sebagai salah satu atribut busana penari tradisional tarian Jawa dan Bali.
Bahan
Kebanyakan upawita dibuat dari logam mulia; seperti emas atau perak yang diukir halus. Bentuk upawita berupa jalinan rantai emas atau logam lainnya yang kadang memiliki bandul bertatahkan intan atau batu permata seperti batu mirah delima. Namun upawita kadang terbuat terbuat dari kuningan, mutiara atau bahkan bahan bukan logam seperti tali dari kain, jalinan serat bambu atau rotan.
Sejarah
Perhiasan upawita sebenarnya merupakan warisan kesenian Hindu-Buddha masa klasik Indonesia, terutama pada masa Kerajaan Medang Mataram. Ukiran orang yang mengenakan perhiasan lengkap termasuk upawita atau talikasta menandakan bahwa orang yang mengenakannya adalah berasal dari kasta yang tinggi, yaitu ksatriya, brahma, orang kaya, bangsawan, atau keluarga kerajaan. Ukiran relief dan arca di candi Borobudur dan Prambanan menampilkan kaum bangsawan yang mengenakan upawita.
Dalam simbolisme Hindu dan Buddha, Dewa Siwa, Dwarapala dan kadang Ganesha digambarkan mengenakan upawita berbentuk naga (berbentuk seperti ular kobra).
4. Kelat bahu
Kelat bahu adalah sejenis perhiasan gelang yang dikenakan di lengan atas dekat bahu. Cara mengenakan kelat bahu adalah melingkari lengan menyerupai gelang tetapi di tarik ke atas hingga mendekati ketiak atau pangkal lengan, kelat bahu melingkari otot bisep dan trisep pada lengan manusia. Kelat bahu ditemukan dalam khazanah Indonesia, khususnya budaya Jawa, Sunda, dan Bali, dikenakan sebagai atribut busana pengantin ataupun busana penari.
Bahan
Aslinya kelat bahu dibuat dari logam mulia; emas atau perak yang diukir halus, kadang bertatahkan batu permata seperti intan atau batu mirah. Namun kini kelat bahu biasanya terbuat dari kuningan atau bahkan hanya lembaran kulit (sama dengan bahan wayang kulit) yang ditatah kerawangan (tembus berlubang) dan dicat emas.
Sejarah
Penari Jawa mengenakan jamang, sumping, gelang dan kelat bahu.
Kelat bahu sudah dikenal ribuan tahun lalu sejak zaman Mesir Kuno. Kelat bahu juga dikenal dalam khazanah perhiasan Yunani Kuno, dan Romawi Kuno. Di Yunani kuno kelat bahu biasanya dikenakan oleh kaum laki-laki, dan memiliki makna kegagahan dan kepahlawanan. Akan tetapi kelat bahu diketahui juga dikenakan oleh perempuan.
Di Indonesia perhiasan kelat bahu sebenarnya merupakan warisan kesenian Hindu-Buddha masa klasik Indonesia, terutama pada masa Jawa kuno era Kerajaan Medang. Ukiran orang yang mengenakan perhiasan lengkap termasuk kelat bahu menandakan bahwa yang mengenakannya adalah dari kasta ksatriya, orang kaya, bangsawan, atau keluarga kerajaan. Ukiran relief dan arca di candi Borobudur dan Prambanan menampilkan bangsawan atau dewa yang mengenakan kelat bahu.
0 komentar:
Posting Komentar