Membicarakan ayat Al Qur’an tentang sedekah dan berbagi memang tidak akan pernah bisa selesai, sebab berbagi itu sendiri merupakan perasaan yang hadir di tiap hati seluruh umat manusia. Tiada manusia di dunia ini yang menolak untuk diberi kasih sayang dan cinta, itu merupakan hal yang manusiawi. Dalam Al Qur’an, ada beberapa ayat yang mengisahkan tentang bersedekah, di antaranya adalah:
Rosulullah melarang
Sedekah yang berlebihan
Masa Rasulullah
SAW ketika mendapati para sahabat yang hendak bersedekah namun dinilai terlalu
berlebihan.
Ketika Ka’ab bin Malik
merasa bersalah karena tidak ikut bersama pasukan muslimin ke Perang Tabuk, dia
ingin menebus kesalahannya dengan menyedekahkan seluruh hartanya.
Ka’ab bin Malik
berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya salah satu bukti dari tobatku adalah dengan melepaskan diriku dari
seluruh hartaku untuk Allah dan Rasul-Nya.” Beliau bersabda: “Tahanlah sebagian
hartamu, itu lebih baik bagimu.” Ia berkata, “Saya menahan saham saya yang ada
di Khaibar.” (HR Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ahmad, Ibnu Hibban).
Rasulullah dalam kisah
ini lebih sayang kepada Ka’ab bin Malik daripada rasa sayang Ka’ab kepada
dirinya sendiri.
Beliau juga lebih
sayang kepada keluarga Ka’ab lebih dari kasih sayang Ka’ab kepada mereka.
Beliau tahu bahwa dorongan perasaan ini adalah hasil dari pengakuan tobatnya
kepada Allah.
Beliau melarang Ka’ab
untuk mengambil keputusan yang mungkin saja berpengaruh negatif baginya di masa
depan, membawanya kepada penyesalan dan membuat dirinya miskin dan membutuhkan.
Semua ini tidak bisa diterima dan tidak baik. Rasulullah
dengan kasih sayang yang luas dapat mengetahui semua kemungkinan ini, sehingga
beliau pun melarangnya.
Ketika Sa’ad bin Abi
Waqash sakit keras, ia menyangka ajalnya akan datang. Ketika itu ia ingin
menyedekahkan seluruh hartanya. Bagaimanakah sikap Rasulullah
dalam hal ini?
Sa’ad bin Abi Waqqash
berkata, ”Rasulullah menjengukku karena sakit keras yang menimpaku saat haji
Wada’.
Aku berkata, ‘Engkau
sudah melihat apa yang aku alami, sementara aku adalah seorang yang mempunyai
harta dan tidak ada yang menjadi ahli warisku kecuali seorang anak perempuan.
Apakah aku bisa bersedekah dengan dua pertiga hartaku?’
Beliau menjawab,
‘Tidak.’
Aku bertanya,
‘Bagaimana kalau separuhnya?’
Beliau menjawab,
‘Tidak.’
Aku bertanya,
‘Bagaimana kalau sepertiga?’
Beliau
menjawab:“Sepertiga itu banyak. Engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan
kaya lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan
meminta-minta kepada manusia. Tiadalah engkau menafkahkan sesuatu dengan
mengharap pahala dari Allah maka engkau akan diberi pahalanya sampai apa yang
engkau masukkan ke dalam mulut istrimu sendiri’.” (Bukhari, Muslim, Abu Daud,
Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Hibban, dan Malik).
“Sungguh ini adalah
sebuah aturan yang baku!,” kata penulis buku “Al-Rahmah fî Hayâti Al-Rasûl”
itu.
Menurut Profesor
Raghib, walaupun umat ini sangat memerlukan harta, namun kasih sayang
menetapkan agar setiap muslim menahan sebagian hartanya.
Terbukti dalam kisah
di atas, Sa’ad menentukan dua pertiga untuk diinfakan di jalan Allah, namun
beliau hanya mengizinkan sepertiga saja dan menjelaskan bahwa itu sudah banyak.
“Artinya, bila Anda
menginfakkan kurang dari itu maka tidak apa-apa. Bahkan Anda sudah terpuji dan
akan mendapatkan ganjaran pahala,” ungkapnya.
Rasulullah Saw juga
menjelaskan dengan indah di akhir hadits
bahwa sesuap makanan yang Anda masukkan ke mulut istri Anda adalah sedekah
yang diterima.
Di sini beliau
menerangkan bahwa sedekah yang diberikan untuk keluarga tidaklah tercela.
Sebaliknya, hal itu sebuah kewajiban besar dan tanggung jawab yang harus
ditunaikan. Seorang mukmin tidak boleh lalai dalam hal ini.
Rasulullah bersabda:
"Satu dinar yang kau sedekahkan
di jalan Allah, untuk memerdekakan budak, untuk menyantuni orang miskin, dan
untuk keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah satu dinar yang kamu sedekahkan
untuk keluargamu."(HR Muslim, Ahmad).
“Adakah sesuatu yang
lebih sesuai dengan fitrah manusia dari pada hal ini?,” ujar Prof Raghib,
seorang dokter yang ahli sejarah itu.